Alhamdulillah, syukur kehadrat Illahi yang masih memberi kita peluang untuk terus menghirup udara yang nyaman pada pagi ini. Segala nikmat dan kurniaan dari Nya yang tidak terhingga ini hendaklah kita syukuri dengan selalu mengingati Nya sepanjang masa tanpa mengira masa dan keadaan.
Alhamdulillah, semalam saya sempat menghadiri Majlis Pengajian Al-Quran dan Tafsir (setiap Isnin dan Khamis) yang dipimpin oleh Al-Ustaz Abu Hisham Al-Besuty yang telah diadakan di Surau Al-Muhajirin PUJ1, Taman Puncak Jalil, Seri Kembangan. Di dalam majlis ilmu tersebut Al- Ustaz telah memberi penafsiran tentang Surah At-Taubah ayat 118 - 121 yang mana mengisahkan 3 orang sahabat Rasulullah yang tidak ikut serta berjihad di dalam Peperangan Tabuk.
Firman Allah swt yang bermaksud :
"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (At-Taubah ayat 118)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (At-Taubah ayat 119)
"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (At-Taubah ayat 120)
"Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (At-Taubah ayat 121)
Mereka ialah Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.
Ikuti ulasan cerita yang telah disampaikan oleh Ustaz Abu Hisham seperti dibawah :-
Ka’ab bin Malik adalah salah seorang sahabat Nabi yang mendapat anugerah Allah berupa kepiawaian dalam bersyair dan berpidato. Syair-syairnya banyak bertemakan peperangan. Kemampuan sebagai penyair ini, mengantarkannya menduduki posisi khusus di sisi Nabi, selain dua sahabat yang lain, yaitu Hassan bin Tsabit dan Abdullah bin Rawahah. Ka’ab bin Malik termasuk pemuka sahabat dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya ialah ‘Amr bin Al Qain bin Ka’ab bin Sawaad bin Ghanm bin Ka’ab bin Salamah. Pada masa jahiliyah, ia dikenal dengan panggilan Abu Basyir.
Kisah kejujuran Ka’ab bin Malik ini, berawal saat Rasulullah telah mengambil keputusan untuk menyerang Romawi. Baginda telah memberitahu para sahabat untuk tujuan itu. Kaum muslimin segera melakukan persiapan dan berlumba-lumba menginfakkan harta yang mereka miliki.
Di tengah kesibukan kaum muslimin melakukan persiapan, ada seorang sahabat yang belum memulainya. la bernama Ka’ab bin Malik. Kali ini,Allah hendak mengujinya dengan perang Tabuk.
Pada masa tuanya, Ka’ab bin Malik menuturkan kisahnya kepada putranya: "Aku tidak pernah untuk turut serta dalam satu peperangan pun bersama Rasulullah kecuali dalam perang Tabuk dan perang Badr. Tatkala Rasulullah berangkat bersama pasukan, aku masih terlambat dan belum sempat melakukan persiapan. Batinku berharap, aku boleh menyusul mereka. Namun akhirnya, langkahku benar- benar terhambat. Kesedihanku bertambah, ketika aku tahu bahwa orang-orang yang tidak bergabung dalam jihad itu hanya orang-orang yang tertuduh munafik atau kaum yang lemah fisiknya".
Saat Rasulullah tiba di Tabuk, Baginda bertanya: "Apa yang terjadi dengan Ka’ab?"
Seorang laki-laki dari kaumku dengan kiasan menjawab,"Baju kesayangannya telah menahannya". Namun Mu’adz menangkisnya,"Sungguh buruk perkataanmu. Demi Allah, kami tidak mengetahui tentang dirinya kecuali baik saja". Rasulullah terdiam.
Ketika Rasulullah, kembali dari peperangan, orang-orang yang tidak turut serta segera menemui Baginda untuk menyampaikan alasan-alasan mereka. Jumlah mereka lapan puluh orang lebih. Rasulullah pun menerima alasan-alasanmereka dan memohonkan ampun bagi mereka.
Sempat terbesit dalam benakku untuk mengajukan alasan dusta kepada Baginda, agar aku selamat dari kemarahan Baginda. Namun ku urungkan niatku dan kubulatkan tekad untuk berkata jujur kepadanya. Aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, baginda tersenyum kepadaku.
Baginda berkata,"Kemarilah!" Aku pun mendekat dan duduk di hadapan Baginda.
Baginda bertanya kepadaku,"Apa yang menahanmu? Bukankah engkau telah mempertaruhkan punggungmu?"
Aku menjawab,"Benar, wahai Rasulullah. Demi Allah, seandainya saat ini aku duduk di hadapan orang selain engkau, tentu aku sampaikan segala alasan yang dapat menyelamatkanku dari kemarahan, lantaran aku ahli berpidato. Namun aku sungguh mengetahui, seandainya hari ini aku berdusta supaya engkau memaafkan aku, niscaya Allah yang akan memberitahukan kepada engkau. Aku mengatakan alasan yang sebenarnya dengan jujur kepadamu. Dan sungguh, aku berharap ampunan Allah dengan kejujuranku. Demi Allah, aku sama sekali tidak memiliki alasan saat aku berdiam di rumah dan tidak ikut serta perang bersamamu."
Baginda berkata,”Laki-laki ini telah berkata jujur. Berdirilah sampai Allah memutuskan perkaramu," aku pun berdiri dan meninggalkan Baginda.
Sekelompok laki-laki dari Bani Salimah mengejarku seraya berkata,"Demi Allah, kami tidak mengetahui engkau melakukan dosa sebelum ini. Mengapa engkau tidak beralasan seperti yang dilakukan orang-orang itu? Sungguh,permohonan ampun Rasulullah untukmu akan menghapus dosamu."
Mereka terus membujukku hingga aku berpikir untuk kembali kepada Rasulullah dan berdusta kepadanya. Aku bertanya kepada mereka,”Adakah orang yang mengalami hal yang sama sepertiku?"
Mereka menjawab,"Ada! Dua orang laki-laki yang mengatakan alasan seperti alasanmu. Dan Rasulullah mengatakan perkataan yang sama kepada mereka, seperti yang Beliau katakan kepadamu."
Aku bertanya,"Siapa mereka?"
Mereka menjawab,”Murarah bin Ar Rabi’ Al ‘Amri dan Hilal bin UmayyahAl Waqifi."
Mereka adalah dua orang sahabat yang ikut dalam perang Badr dan pada diri mereka terdapat suri tauladan. Aku pun berlalu meninggalkan mereka.
Sejak saat itu, Rasulullah melarang para sahabat berbicara dengan kami, tiga orang yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Dua sahabatku,mereka tak tahan menghadapi pemulauan yang dilakukan kaum muslimin terhadap kami. Mereka mengurung diri dalam rumah dan tak pernah berhenti menangis. Sedangkan aku adalah orang yang termuda dan terkuat di antara mereka. Kukuatkan hatiku untuk menemui orang-orang, berharap akan ada seseorang yang menyapaku.
Namun tak ada seorang pun yang mau berbicara denganku. Ketika aku memasuki masjid, ku ucapkan salam kepada Rasulullah. "Apakah Baginda akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku?"tanya hatiku.
Aku pun shalat dan mengambil posisi terdekat dengan Baginda. Aku mencuri-curi pandang kepada Baginda. Ketika aku fokuskan pandangan pada shalatku, Beliau memandangku. Dan bila aku meliriknya, Beliau memalingkan wajahnya dariku.
Keadaan itu terus berlanjut hingga beban itu kian berat kurasakan.Aku pun menemui Abu Qatadah, sepupuku dan orang yang sangat kucintai.Aku memanjat dinding rumahnya dan ku
ucapkan salam padanya. Namun dia tidak menjawab salamku. Aku berkata memelas padanya, "Wahai,Abu Qatadah! Demi Allah, bukankah engkau mengetahui bahwa aku mencintai Allah dan RasulNya?"
la hanya terdiam dan tidak menanggapi perkataanku. Ku ulangi kata-kataku tadi berkali-kali, hingga ia berujar singkat: "Allah danRasulNya yang lebih mengetahui". Air mataku pun meleleh tanpa dapat ku tahan. Aku berlalu.
Suatu ketika, saat aku berjalan di pasar kota Madinah, seorang laki-laki dari Syam yang menjual makanan di pasar itu bertanya kepada orang-orang: "Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?"
Orang-orang pun memberitahukannya. Dia pun mendatangiku. Kemudian menyerahkan sehelai surat dari Raja Ghassan. Tertulis dalam surat itu:
"Telah sampai berita kepadaku, bahwa temanmu telah memulaukan mu.Sedangkan Allah tidak menjadikan mu orang yang terhina dan tersia-siakan. Bergabunglah dengan kami, maka kami akan menolongmu".
Aku berkata, "lni pun cubaan untukku," lalu aku lempar surat itu ke dalam unggun api.
Setelah berlalu empat puluh hari semenjak Rasulullah dan para sahabat memulaukan kami, tiba-tiba datang utusan Beliau dengan membawa perintah agar aku menjauhi istriku.
Aku bertanya, "Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang harus kulakukan?"
Sang utusan menjawab,’Tidak, tapi jauhilah ia dan jangan engkau sentuh."
Aku berkata kepada istriku, "Kembalilah kepada keluargamu.Tinggallah bersama mereka sampai Allah memutuskan perkara ini."
Keadaan seperti itu terus berlanjut. Hingga tibalah suatu pagi selepas aku shalat shubuh. Keadaan ku saat itu seperti yang Allah kisahkan,terasa sempit jiwaku dan bumi yang ku pijak seakan tak kukenali lagi.
Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak: "Wahai, Ka’abbin Malik! Berbahagialah!"
Aku pun segera menghaturkan syukur dengan sujud kehadiratNya. Sungguh telah datang jalan keluar bagikami. Rasulullah telah mengumumkan kepada para sahabat setelah shalat Shubuh. Allah telah menerima taubat kami.
Orang-orang berbondong-bondong menemui kami dan mengatakan kegembiraan mereka atas berita ini. Sungguh tidak tergambr kebahagiaanku saat itu. Aku memberikan dua baju yang kukenakan kepada laki-laki yang datang membawa berita gembira itu. Padahal saat itu, aku tidak memiliki baju selain kedua baju itu. Oleh karena itu, aku meminjam baju dan bergegas ke masjid menemui Rasulullah.
Saat itu Baginda dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah berdiri dan berlari kecil menghampiriku, kemudian ia menggamit tanganku dan menyalamiku seraya mengucapkan selamat untukku. Sungguh, tidak ada seorang pun yang berdiri dan melakukan seperti yang ia lakukan,hingga aku pun tidak pernah melupakan kebaikannya itu.
Aku pun masuk masjid dan mengucapkan salam kepada Rasulullah. Saat itu wajah Baginda berseri-seri dan bersinar bak rembulan. Tatkala aku sudah duduk di depan Nabi, Beliau berkata: "Berbahagialah dengan hari terbaik yang engkau jumpai semenjak ibumu melahirkanmu".
"Apakah pengampunan ini darimu, wahai Rasulullah? ataukah dari Allah?" tanyaku.
Baginda menjawab, "Tidak! Pengampunan ini datang langsung dari sisi Allah."
Aku berkata kepada Baginda:
"Wahai, Rasulullah! Sungguh, sebagai cerminan nyata taubatku,aku sedekahkan hartaku di jalan Allah".
Beliau berkata, "Tahanlah sebagian hartamu untuk dirimu,karena itu lebih baik bagimu."
Aku mentaati perintah Beliau dan berkata: "Kalau begitu,aku tahan anak panahku yang kugunakan dalam perang Khaibar. Dan sungguh Allah telah menyelamatkanku dari perkara pelik ini karena kejujuran.Maka sebagai wujud taubatku pula, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur".
Sungguh, aku tidak mengetahui ada orang lainyang mendapat ujian kejujuran seperti Allah mengujiku. Hingga sampaisaat ini, aku tidak pernah bicara dusta satu kali pun sejak berjanji kepada Rasulullah. Dan aku memohon kepada Allah agar menjagaku pada sisa umurku ini".
Demikianlah keperibadian Ka’ab bin Malik. Seorang mujahid di jalan Allah dengan pedang dan lisannya. Sifat kepahlawanan yang memiliki kejujuran setegar batu karang. Tak terkikis oleh ujian yang menyempitkan hatinya.Dijalaninya sisa hidupnya dengan selalu menggenggam kejujuran. Pada masa tuanya, ia kehilangan penglihatannya. Dan putranya, Abdullah yang menjadi pemandu sejak Allah menghilangkan penglihatannya. Ka’ab bin Malik wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Semoga rahmat dan keredhaan Allah senantiasa tercurah atas diri penyair Rasulullah ini.
Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang menguzurkan dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Tetapi beliau jujur kepada Rasulullah dan menyedari kesalahannya dan bertaubat. Beliau segera bangkit dari keadaannya itu dan ikhlas menerima hukuman apapun.
Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita akan menguzurkan diri kita dengan berbagai alasan ketika kita diberi amanah, padahal alasan sebenarnya kerana kemalasan kita. Apakah kita akan menyalahgunakan kepandaian kita untuk membuat pelbagai alasan? Apakah kita sering tidak datang ke majlis-majlis ilmu tanpa alasan yang syar’i karena kita malas atau mendahulukan yang lain yang tidak penting. Atau mungkin datang tapi sengaja lambat karena menunda-nunda keberangkatannya tanpa ada udzur apapun. Padahal di dalam ayat ini, kita disuruh untuk berangkat jihad dalam keadaan merasa berat maupun ringan.
Tepuk dada tanya lah iman....
Wallahu a’alam....
No comments:
Post a Comment